Maret 11, 2016

Siapakah Dia?

          Aku mengenalnya dengan sederhana. Tanpa ada maksud untuk mengenalnya lebih jauh. Aku ingin mengenalnya dan bertukar pikiran dengan dia. Hingga komunikasipun mengubah pandanganku tentang dia. Mengubah cara-cara berfikirku. Menyalakan kembali semangatku yang sempat hampir padam.
          Dia, yang mengubah hari-hariku. Menghilangkan pikiran-pikiran pesimisku yang mulai menjangkit pada diriku entah sejak kapan. Dia yang kusebut dengan teman. Ya, teman.
          Dia, yang entah bagaimana parasnya. Hanya imajinasi yang mampu menggambarkan bagaimana dirinya. Bertemu? Mungkin Tuhan memang belum mengijinkan pertemuan itu atau mungkin memang tak ada pertemuan kami dalam skenario-Nya.
          “Selamat datang kamu. Salam kenal dariku, yang masih belum bisa dipertemukan denganmu saat ini.”
          Berteman denganmu, sering berkomunikasi, membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentangmu. Hingga akhirnya aku mengerti beberapa hal tentang kamu. Salah satu dari hal itu yang akhirnya membuatku mengagumimu.
          “Ah, ini hanya sekedar rasa kagum saja.” Pikirku kala itu. Namun setelah semakin seringnya berkomunikasi, sambutanmu melalui tulisan-tulisan itu mengubah rasa kagum menjadi rasa nyaman.
          Aku mencari tahu bagaimana kamu melalui media sosial yang ada diantara kita. Namun hasil yang aku dapat tidak seperti yang aku harapkan. Sama saja, itu masih membuatku sekedar meraba-raba tentangmu saja. Mungkin ini memang bagian dari skenario-Nya, supaya ada batas dalam aku mengenalmu. Hingga saat inipun aku belum tahu bagaimana kamu. Sampai saat inipun aku masih bertanya-tanya dalam duniaku tentang siapa kamu, bagaimana kamu.
          “Terkadang rasa nyaman membuat kita lupa kalau cuma sekedar teman.” Tulismu waktu itu.
          Hal itu yang menjadi pertimbanganku untuk melanjutkan komunikasi ini. Aku takut kenyamanan itu berkembangbiak, menjadi pengharapan atas pertemanan untuk menjadi lebih. Aku tau kamu tidak bisa menjalani lebih dari teman, akupun juga.
          Malam itu sebenarnya bisa saja kita bertemu, ketika kamu bersama dengan temanmu dimana ada aku juga di tempat itu. Namun mungkin Tuhan berkata lain. Sampai detik inipun kita belum dapat bertemu.
          Ada hal yang aku ingat dari ucapan orang-orang yang pernah aku dengar. Terkadang Tuhan hanya mengenalkan kita tanpa ingin mempertemukan. Terkadang Tuhan hanya ingin mempertemukan kita, tanpa mengenalkan kita. Terkadang Tuhan hanya ingin mempertemukan dan mengenalkan kita, namun belum tentu menyatukan.

          Ya. Mungkin Allah mempunyai rencana lain untuk kita. Kalimat witing tresna jalaran saka kulino (awal dari jatuh cinta berasal dari terbiasa) mungkin ada benarnya juga. Namun biar kusimpan rasa ini saja, rasa yang entah kini menjelma menjadi apa dan bagaimana.

Februari 03, 2016

Menyapa Masa Lalu


Udara segar mulai dapat kuhirup dengan bebasnya, aktivitas yang kujalani mulai terasa lebih ringan dari sebelumnya. Entah telah berapa waktu aku melalui hari tanpa bayangan, bahkan namanya dalam benak dan hatiku. Aku rindu ini, aku rindu merasa lega seperti ini, seperti saat aku dan dia belum saling memasukkan nama dan bayang dalam keseharian masing-masing.

Di hari yang entah ke berapa ini, aku mengakhiri kegiatan diiringi perputaran belahan bumi dimana posisiku berada membelakangi matahari. Bulan mulai terlihat dengan purnamanya yang sempurna. Sesekali aku mencari dimana bintang paling terang bersinar. Aku menemukannya, tepat berada di atasku. Kembali aku menghirup udara yang tidak terlalu bercampur dengan asap kendaraan maupun rokok.

Seketika aku merasa terbawa oleh angin, menuju masa dimana aku dan dia yang sering melewati saat seperti ini. Kepulan asap rokoknya yang membuatku sesak, sehingga aku selalu berdebat melarangnya menghisap dan menghembuskan asap itu lagi. Bahkan aku selalu menyita rokok tersebut setiap bertemu. Bukit Bintang. Ya, tempat itu memang indah, bisa dibilang seindah awal aku menjalin hubungan itu.

Udara dingin yang memelukku erat, menyatukan jiwa dengan kenangan tidak mampu membekukan air mataku yang akhirnya tetap menetes. Kenapa aku kembali menangis? Tangis apakah ini? Aku benar-benar seperti orang yang baru sadar dari pingsan yang cukup lama. Tidak tahu kenapa aku menangis, mau saja hanyut terbawa perasaan saat mengingat dia dan kenangan kita.

Di hari yang entah ke berapa ini, aku kembali merindukannya. Rasa sesak kembali hadir, hingga aku mati rasa dan tak sadar bahwa air mata semakin banyak mengalir. “Apa kabar masa laluku? Apakah disana kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan kuliahmu sekarang? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah kuliah dan pekerjaanmu tetap bisa berjalan seirama, seperti agenda dan aturan yang telah kita buat? Masih ingatkah kamu ketika kamu memintaku menjadi manager yang menata jadwalmu?” Diam-diam aku menyapanya lagi. Hal yang telah beberapa waktu ku lewatkan kini ku lakukan lagi.

Agustus 17, 2015

Kapan Kamu Peka?

            “Maaf aku telat, kamu udah lama nunggu, ya?” Tanyanya saat pertemuan itu.
            “Nggakpapa, kamu habis dari mana memangnya?” Tanyaku mencoba mencairkan kejengkelanku karena telah 30 menit menunggunya.
            “Tadi ketiduran.” Jawabnya singkat.
            Apa? Ketiduran? Baiklah, mungkin dia memang terlalu lelah dengan aktivitasnya hari ini. Sabar, sabar. Bukan saatnya marah-marah di hari istimewa ini. Kontrol emosi, ok.  Aku berkata dalam hati untuk bersabar. Dengan tenang dia meminum minuman yang telah ku pesankan. Esnya telah mencair, mungkin sekarang rasanya telah tawar. Ya, namun aku harus menjaga perasaanku yang telah lama memendam kekesalan akibat sikap dinginnya selama ini. Aku tidak boleh menyesal dengan keadaan ini.
            “Kamu ingat nggak ini tanggal berapa?” Tanyaku memancing ingatannya.
            “Emm, bentar.” Dia mengecek HPnya, “Tanggal 8.” Jawabnya lebih singkat dari dugaanku.
            “Ohh.” Jawabku mulai kesal.
            Kita hening sesaat, dia fokus pada game yang ada pada ponselnya. Aku menatap sekeliling, melihat pengunjung yang datang ke tempat makan ini. Malam ini malam minggu, banyak muda mudi berpasangan maupun berombongan di sekitar kita.
            “Don, lihat deh, kayaknya orang-orang tu bahagia banget ya. Mereka bisa main sama kesayangannya, habisin akhir pekan bareng.” Ucapku berusaha mengalihkan perhatian Doni, kekasihku dari ponselnya.
            “Emm, kita kan juga barengan.” Sahutnya. Lagi-lagi dia masih asik dengan ponselnya, bermain game.
            Tiba-tiba ada sepasang kekasih lewat di sebelahku.
            “Aduh..” Rintih ceweknya ketika tidak sengaja kakinya tersandung.
            “Kenapa sayang? Kamu nggakpapa kan?” Kata cowoknya memegangi si cewek supaya tidak terjatuh.
            Itu perhatian kecil dari seorang cowok, yang entah apakah dulu pernah diberikan Doni padaku. SMS saja jarang dibalas, alasannya nggak punya pulsalah, sibuklah, tidurlah, futsal, dan masih banyak lagi. Kita ngobrol ringan cukup lama, hingga dia mengajakku untuk pulang.
            “Kamu tadi naik apa kesini?” Tanyanya tanpa menoleh padaku, tatapannya hanya pada HPnya.
            “Nebeng temen.” Jawabku memandangnya, merasa sikap dinginnya tak pernah berkurang sejak setahun setelah kita jadian. Padahal saat PDKT lebih dari dua bulan, dia sangat perhatian. Namun perhatiannya berangsur memudar saat kita berpacaran, entah kenapa.
            “Yuk pulang, aku capek, De.” Dia kini menatapku, tatapannya seperti meminta persetujuan.
            “Aku boleh ngomong sesuatu nggak?” Tanyaku, tanpa menggubris ajakannya.
            “Apa?” Tanyanya malas.
            “Lihat aku Don.” Kataku datar.
            “Apalagi sih?” Dia melihatku dengan malas.
            “Sebenernya kamu menganggapku sebagai apa Don?” Ucapku menahan kekesalan.
            “Pacar.” Sahutnya singkat.
            “Kamu ingat ini tanggal berapa?” Tanyaku lagi, berharap dia mengingat kenangan 2 tahun lalu.
            “Kan aku udah bilang, ini tanggal 8.” Jawabnya akan membentak.
            “Kamu ingat 2 tahun lalu apa yang terjadi? Kamu ingat ini hari spesial apa buat kita?” Tanyaku menahan air mata.
            “Emmm,” dia berpikir sejenak, “ini tepat 2 tahun kita jadian.” Jawabnya santai.
            “Baguslah kalau kamu masih ingat.” Jawabku pura-pura ngambek.
            “Iya. Ayok pulang.” Katanya.
            Apa? Dia nggak bereaksi apa-apa? Sekedar mengucapkan selamat hari jadi yang kedua atau apa gitu.
            “Ya udah deh, ayok.” Jawabku benar-benar kesal.
            Kitapun pulang, dia mengantarku. Dalam perjalanan, tidak ada obrolan diantara kita. Kapan kamu akan mengubah sikap dinginmu menjadi hangat Don? Batinku terus bertanya, berdebat dengan sisi lain dalam hatiku untuk mengakhiri, mempertahankan, atau mengatakan apa yang aku inginkan. Ya, mungkin dengan keterbukaanku tentang apa yang aku rasakan, dia akan berubah. Namun aku takut dia tersinggung dan marah. Lantas apa yang harus aku lakukan? Aku terus memikirkannya hingga tibalah aku di depan rumah dan turun dari motornya.
            “Don,” ucapku yakin dengan apa yang akan aku lakukan. “Selamat hari jadi yang kedua ya.” Lanjutku.
            “Iya, selamat juga.” Katanya.
            “Don, kenapa kamu selalu dingin padaku? Apa salahku, Don?” Tanyaku yang akhirnya keluar dari mulutku.
            “Kamu nggak salah apa-apa.” Jawabnya.
            “Tapi kenapa kamu seperti ini? Katakan saja, Don.” Ucapku berhati-hati.
            “Sebenarnya aku ingin jujur, tetapi aku takut menyakitimu.” Sahutnya.
            “Katakan saja.” Jawabku menahan air mata.
            “Sebenarnya orang tuaku tidak setuju dengan hubungan kita, mereka menyuruhku dekat dengan seseorang. Dia temanku saat aku masih kecil.” Katanya memandangku dengan iba.
            “Kenapa mereka tidak setuju? Lalu kamu mau mendekati gadis itu? Kamu mencintainya?” Air matakupun tak mampu lagi tertampung dalam pelupuk.
            “Kamu tahu sendiri bahwa kamu orang punya, sedang aku tidak. Jadi mereka takut bahwa keluargamu akan menyesal jika aku bersamamu. Aku tidak mendekati dia, aku hanya bersikap seperti biasa. Aku dulu memang menyukai dia, namun tidak untuk mencintainya. Aku mencintaimu, De. Maaf jika selama ini aku dingin padamu, aku bingung harus berbuat seperti apa. Satu sisi aku menyadari statusku yang hanya orang biasa, namun sisi lain aku tidak ingin kita putus.” Jawabnya sambil menghapus air mataku.
            “Don, ayah dan ibuku tidak keberatan dengan kita, karena menurut mereka yang penting aku mendapatkan orang yang baik, bisa menjagaku, memahamiku yang manja ini. Aku mencintaimu, Don.” Isakku dalam pelukannya.

Juli 07, 2015

Jauh, jauh, jauh

            Aku masih ingat saat kamu harus pulang ke tempatmu, dengan menahan tetesan air mata aku melepasmu. Namun semua berubah saat aku berada dalam kamar mungilku. Air mata itu tak berhentinya mengalir, semua acak-acakan. Keesokan harinya kamu menelfonku, aku mulai terhibur dan berusaha membiasakan diri sejak itu.
            Tak lama dari perpisahan kita, tepat kamu berulang tahun. Sebelumnya aku telah menitipkan gift ke salah satu temanmu, yang kuminta untuk diberikan kepadamu saat ulang tahunmu. Mungkin itu tidak bernilai lebih, namun itu wujud perjuanganku supaya kamu mampu mengingatku.
            Hari demi hari, masih dengan status LDR yang hubungannya masih sebatas HTS kita lalui. Hingga suatu malam kamu menelfonku, seperti biasa kita mengobrol ngalor ngidul. Namun tiba-tiba suasana berubah saat kamu mengucapkan beberapa kata yang terangkai dalam kalimat itu, kamu ingin membuat hubungan kita menjadi pacaran. Tapi jawabanku hanya seadanya dan singkat, “Ya”, hanya itu.
            Hingga saat ini, aku masih menunggu Tuhan mengijinkan kita bertemu kembali. Aku sangat menanti saat pertemuan itu, meskipun aku tidak tahu apa saja yang akan kita lakukan untuk mengisi pertemuan itu. Harapanku selalu kulantunkan pada Tuhan. Entah kenapa, kamu benar-benar bisa membuatku menetralkan masalalu.
            Komunikasi kita berjalan lancar, setiap hari, karena hanya itu yang mampu kita andalkan dalam hubungan ini. Namun akupun merasa sempat ada perubahan dari kamu. Kamu awalnya sms terus, jadi jarang sms. Sekalinya sms hanya singkat-singkat. Aku berusaha berpikir baik tentangmu, namun kegelisahan itu tetap ada. Aku takut kamu menjalin hubungan atau tertarik dengan wanita lain di sana.
            Aku ini pacarmu, aku peka dengan perubahanmu meski hanya hal-hal kecil. Kamu yang selalu sms aku menjadi jarang sms, kalaupun sms hanya singkat. Kamu masih menganggap aku sebagai pacarmu, kan? Atau selama ini kamu menganggap kita hanya sebagai teman? Kamu anggap bercanda saat kamu nembak aku? Lalu kenapa kamu memanggilku dengan panggilan sayang, beb, dan panggilan sejenisnya?
            “Maaf”, itu yang kamu katakan saat aku memprotes. Saat itu pula aku menyesal telah mengirimkan protes itu padamu, aku merasa sedih setelahnya. Seharusnya aku tidak mengirimkannya padamu, seharusnya aku memahami kegiatanmu, seharusnya aku lebih mengerti kamu. Namun kata orang-orang, kita harus saling terbuka, apalagi bagi penyandang LDR. Kamupun juga bilang demikian, aku harus terbuka. Maafkan aku lelakiku, aku belum bisa menjadi wanitamu yang baik, yang sesuai harapanmu.
            Saat aku membuka message di akun jejaring sosialmu, aku membaca kamu dekat dengan cewek. Aku semakin takut jika kamu akan berpaling, meski aku tahu dia jauh lebih baik dari segi apapun jika dibandingkan denganku. Tapi katamu “Itu hanya teman,” dan kamu berusaha setia. Hanya kepercayaan yang bisa ku berikan, jagalah itu. Kamu adalah seseorang yang baik, kamu pasti bisa menjaga kepercayaan itu.

Kepercayaan bukan hanya sekedar barang yang bisa dijual kepada semua orang.
Kepercayaan lebih dari sebuah barang,
Yang hanya bisa diberikan kepada orang khusus yang dirasa spesial.
Jagalah kepercayaan yang diberikan kepadamu.
Jangan sia-siakan kepercayaan itu, jagalah hati pemberi kepercayaan.
Karena mungkin kamu baru akan menyadari betapa berartinya dia dan menyesali setelah dia pergi meninggalkanmu karena sikapmu sendiri.
Ingatlah, tidak semua penyesalan akan merubah keadaan.

Tidak semua orang menerima kesempatan kedua ataupun kesekian kalinya.

Juli 06, 2015

Untuk Kamu :) Semoga cepat sembuh (:

Perkenalan yang penuh dengan keheningan
Seseorang yang selalu diam
Entah memendam apa
Entah memikirkan apa
Entah membatin apa

Perkenalan yang diam
Namun berkembang dan mekar seiring berjalannya waktu
Satu kalimat, satu pertanyaan
Satu per satu kata yang berubah menjadi kalimat terucap
Dari situlah berkembang dan mekarnya menyebarkan keharuman

Ingatkah kamu saat tugas kita bersama?
Ingatkah kamu bagaimana kamu membuatku takut?
Ingatkah kamu tertawa terbahak-bahak melihatku panik?
Ingatkah kamu ketika kamu menjailiku?
Ingatkah kamu ketika kita menjaili teman-teman?

Dari sana aku mengenalmu jauh lebih dekat
Dari sana banyak kalimat dan pertanyaan yang kamu lontarkan
Dari sana aku mengetahui sisi lain dirimu
Kamu lain dari yang mereka katakan
Bagiku mereka tak benar-benar mengenalmu

Tuhan sedang mengujimu saat ini
Tuhan pasti menyayangimu dan ingin kamu lebih dari yang lain
Kamu punya Tuhan, keluarga, sahabat-sahabat, dan teman-teman
Kami ada untukmu, di belakangmu
Semangat dan doa untuk kesembuhanmu akan selalu ada

Teruntuk kamu, semoga cepat sembuh. Maaf aku hanya bisa memberi semangat dan doa dari jauh. Kamu pasti sembuh. Di balik sikap pendiammu, tersimpan kekuatan yang begitu besar. Semangatlah teman, semangat. Maaf aku tidak selalu di sampingmu. Semoga doa dan harapan kita semua dapat mengalahkan sakitmu. Hanya ini yang bisa aku berikan buat kamu. Semoga cepat sembuh ya.

-Untuk Muhammad Agit Tenda Harfian-

Maret 29, 2015

Di Batas Kota (Penggantinya)


Sudah berapa lama dia pergi? Sudah beratus-ratus hari, berpuluh-puluh minggu dan berbulan-bulan. Tapi kenapa masih belum saja melupakan dia, padahal dia sudah tidak peduli lagi dengan kenangan-kenangan kita. Sampai kapan bertahan dalam titik seperti itu?
        Aku berpasrah kemana angin akan mengarah, kemana air akan mengalir. Aku menjalani segalanya seperti biasa, dengan kenangan yang tanpa dia hadir secara nyata. Lagi, lagi, dan lagi aku menghela napas panjang mengingatnya. Kenapa dia masih terus bersemayam dalam benakku?
          Aku melihat suatu tempat, aku mencoba menjangkaunya. Ternyata rasanya nyaman berada di sana, sejenak aku lupa dengan kenangan itu. Tiba-tiba kamu datang, menyapa. Aku terdiam sejenak, menerka siapa kamu. Aku melihat sesuatu padamu, kamu seperti dia. Ah, tidak. Kamu pasti berbeda.
          Aku semakin nyaman berada pada zona baruku, dengan kamu sebagai tokoh baru yang menggantikan dia. Ya, kamu bukan hanya menutupinya, namun telah benar-benar menggantikan dia. Dia yang bernama masa lalu. Kamu membawaku bangkit kembali, melalui cara yang tak seperti dia. Dan aku yakin, kamu tak akan seperti dia yang meninggalkanku begitu saja.
          Hingga aku sadar, jarak harus memisahkan kita dalam waktu yang entah sampai kapan. Aku masih berpegang pada egoku untuk tetap bersama kamu. Aku bertekad untuk bertahan bersamamu, meski jarak akan benar-benar menjauhkan kita, namun bukan berarti memisahkan. Hanya air mata yang kembali ada saat tiba waktu kembalinya kamu pada titikmu semula.
          Aku kembali pada tempatku, meninggalkan keabu-abuan kita. Aku bersiap menerima kenyataan bahwa kamu juga hanya kesemuan yang akan menghilang tak lama lagi. Namun kamu tetap ada, menunjukkan bahwa kamu adalah tokoh nyata. Kamu bukan hanya ada dalam cerita fiktif yang ku khayalkan selama ini dalam dunia yang ku ciptakan sendiri.
          Waktu terus berlalu, LDR. Hal yang aku takutkan, jika kamu nakal di kejauhan sana. Namun kamu terus meyakinkanku, bahwa semua akan baik-baik saja. HTS, aku bukan siapa-siapamu yang berhak menuntut ini itu saat kamu bersama teman-temanmu. Namun kamu mengatakan bahwa aku memiliki hak atasmu, karena kita saling memiliki.
          Hanya kepercayaan yang mampu ku bekalkan di kejauhan sana. Jaga kepercayaan ini. Katamu kamu pergi untuk kembali lagi, kembali menemuiku di sini. Di kota aku dan kamu di pertemukan untuk bisa menyebut kita dikemudian hari. Di batas kota, aku menaruh harapan akan hadirmu kembali. Kembalilah, untuk menjemputku. Jangan seperti dia yang meninggalkan aku, jaga hati, diri, segalanya.

Januari 09, 2015

Aku Lelah Berpura-Pura

            Tangisku pecah malam itu, seperti beberapa waktu sebelumnya. Aku selalu mengalami ini, entah kali ini yang keberapa kalinya. Yang aku ingat hanyalah aku akan menangis saat aku benar-benar tak sanggup lagi menahan segala kesedihan dan deritaku yang kupendam sendiri beberapa lama ini.
            Aku adalah pelajar di salah satu sekolah yang berada di Kota Pelajar, teman-teman memanggilku Vira. Bahagia diriku berada dalam kota yang masih menjaga budayanya. Dahulu prestasiku di sekolah sangat baik, setidaknya untuk tingkat sesekolah aku selalu masuk tiga besar. Namun aku merasa ada perubahan prestasi, ketika aku memasuki jenjang belajar yang lebih tinggi beberapa waktu silam.
            Dari sana aku berusaha untuk menganggap semua baik-baik saja, tak perlu orang lain mengerti apa yang ada dalam perasaan dan benakku. Aku menampung segala keluh kesah, suka duka, tangis tawa sendirian. Kenapa? Karena aku tahu, belum tentu orang lain mau tahu dan peduli pada kita. Sebagian dari mereka hanya berpikir “cukup tahu” pada dukaku, bahkan terkadang membumbui masalah dan membuatku semakin berat.
            Dari sinilah aku tumbuh, dalam gelombang emosi yang sangat labil. Aku mampu mengontrolnya. Namun, bukankah sepandai-pandainya seorang pelari, ia pasti pernah terjatuh? Terkadang aku mampu mengendalikan diriku, namun terkadang perasaan yang berbalik mengendalikanku. Ya, aku luluh pada hatiku yang melakukan demo akibat bukit-bukit masalah yang kupendam sendiri.
            Hingga aku bertemu pada seseorang yang mengatakan bahwa dia mau menjadi teman dalam segalaku. Tak jarang aku mengutarakan segala kegundahan, kebahagiaan, dan kebimbanganku. Buktinya, dia memang selalu ada bagiku.
            “Vir, apa kabar kamu hari ini?” Tanyanya suatu ketika.
            “Baik, Dit. Tumben kamu menanyakan kabar? Biasanya langsung aja ngomong apapun yang kamu mau.” Jawabku sambil balik bertanya pada Ditya.
            “Harusnya aku yang tanya sama kamu, Vir. Kok tumben kamu ada sesuatu terus disembunyikan gitu?” Ditya mulai menyelidik.
            “Sesuatu apa, Dit? Tidak ada yang aku sembunyikan dari kamu.” Aku kembali mencoba tersenyum.
            Ditya menatapku, teramat dalam. Aku hanyut pada arus angin yang berhembus, air mataku mengalir membuka ceritaku kali ini. Entah ini yang keberapa kali aku menangis di hadapan Ditya.
            “Jujur, Dit, selama ini aku ingin menjadi diriku sendiri.” Aku berhenti sejenak. “Selama ini banyak yang bilang kalau aku adalah gadis tanpa masalah, banyak yang ingin mempunyai hidup selancar diriku. Namun mereka belum tahu, banyak sekali yang aku pendam dalam diamku. Tak jarang aku diam di hadapan mereka, bukan karena aku pendiam.” Aku memaksakan senyumku, dan kembali melanjutkan ceritaku. “Aku diam karena aku takut tidak bisa mengendalikan diriku di hadapan mereka.”
            “Adakah yang tahu segala masalahmu selain aku?” Tanya Ditya di sela isakku.
            “Tidak, bahkan sahabatku tidak tahu semua tentangku. Aku takut terhianati lagi, aku takut bila menceritakan segala masalahku. Maaf, bahkan sebenarnya ada banyak yang tidak aku ceritakan padamu.” Jawabku tertunduk.
            “Vira, Allah menciptakan sesuatu berpasangan. Ada baik dan ada buruk. Tidak semua yang ada di dunia ini merupakan orang-orang jahat yang akan menghianati kamu. Bukankah banyak yang bercerita padamu, tapi kamu tidak membocorkan rahasia-rahasia mereka kan? Aku tidak akan memaksa kamu menceritakan segala hal padaku, aku hanya ingin kamu nyaman berada di sampingku.” Kata Ditya teramat menyentuh hatiku. Dia merangkulku, akupun menyandarkan kepalaku di pundaknya.
            “Kamu selalu mampu membawaku hanyut dalam samudra ketenangan, Ditya. Terimakasih kamu telah ada untukku. Aku hanya ingin menjadi diriku yang sebenarnya, tanpa perlu menutupi kesedihanku.” Kataku.
            “Selama ini, kenapa kamu selalu menutup diri? Apa alasanmu?” Tanya Ditya membuatku berpikir sejenak.
            “Aku tak ingin mereka menjadi pelampiasan emosiku. Aku takut mereka pergi jika aku terlalu kasar. Namun aku ingin bisa meluapkan segalanya, tanpa beban yang harus aku takuti.” Kataku lagi.
            “Kamu akan menjadi dirimu sendiri, selama kamu bisa mengendalikan dirimu. Kamu boleh meluapkan amarahmu, selama kamu tahu waktu dan tempat yang tepat. Aku tahu kamu lelah. Bayangkan, apakah kamu pernah menjumpai orang yang tak mampu menahan amarahnya di depanmu? Bagaimana perasaanmu?” Ditya kembali menanggapiku. “Kamu ingin nyaman berada pada posisimu, maka kamu harus membuat orang lain juga nyaman.”
***
            Senja menyapa secara perlahan, deburan ombak berlomba menemui pantai. Aku sendiri, melihat sepasang kekasih bercanda dan berbahagia. Tanpa tersadar, Ditya telah duduk di sebelahku menyodorkan sebotol minuman. Aku masih terpaku oleh sepasang kekasih tersebut. Bahagia terpancar nyata dari keduanya. Tak seperti aku, yang tersenyum dalam paksaan. Aku kembali berkaca-kaca mengingat segala kejadian yang membuatku sakit dan sedih. Hingga akhirnya tanganku yang akan memukul tanah pantai tersebut menyenggol Ditya yang sedari tadi menyodorkan minuman.
            “Eh, eh, maaf. Sejak kapan kamu di sini?” Tanyaku polos pada Ditya, segera aku berbalik menghapus air mataku.
            “Aduh neng, sudah beberapa kali aku memanggilmu dan menyodorkan minuman ini. Kamu kenapa bengong? Memukul tanganku pula. Kamu tidak mau minuman ini? Ya sudah, untuk aku saja.” Canda Ditya. Inilah yang membuatku nyaman bersama dia, dia selalu dapat membuat moodku berubah-ubah secara seketika.
            “Eh, mau dong. Sini-sini minumnya.” Jawabku menyambar minuman di tangan Ditya.
            “Kamu memikirkan apa sih, Tuan Putri?” Tanya Ditya setelah kita kembali duduk.
            “Kamu lihat itu, Dit. Sepasang kekasih itu terlihat sangat bahagia ya. Aku ingin bisa seperti mereka.” Jawabku menatap sepasang kekasih yang sedari tadi bermain-main dengan ombak.
            “Kamu ingin seperti mereka? Menjadi sepasang kekasih dan berbahagia denganku? Yakin?” Jawab Ditya nampak tak searah dengan maksud tujuan ucapanku.
            “Maksudku aku ingin bisa sebahagia mereka, Ditya. Mereka nampak tak menyembunyikan perasaan lain.” Jawabku.
            Tak berapa lama, sang perempuan nampak telah kedinginan dan mengajak pulang. Namun sang laki-laki masih asik dengan air garam itu. Kemudian cowok itu tanpa ragu menyiramkan air dari ombak yang datang dan memeluk ceweknya, hingga mereka terjatuh. Cewek yang sudah merasa badmood langsung marah-marah saat itu juga. Pertengkaran kecil berubah menjadi besar. Tak sedikit pengunjung pantai sore itu memandangi mereka yang sedang dikendalikan oleh perasaan emosi, hingga rasa malu dan sungkanpun tertutup seketika.

            “Lihatlah, apa kamu mau juga menjadi bahan tontonan yang semacam itu pula?” Tanya Ditya membuatku tersadar.